TNKM (taman nasional kayan mentarang)
(kami
siap melindugi hutan kami demi masadepan kami. KEHUTANAN UNMUL 2012)
Jenis flora yang
dilaporkan ada dalam kawasan ini di antaranya termasuk 500 jenis anggrek dan sedikitnya 25
jenis rotan. Selain itu juga
telah berhasil diinventaris 277 jenis burung termasuk 11 jenis baru untuk
Kalimantan dan Indonesia, 19 jenis endemik dan 12 jenis yang hampir punah.
Beberapa
jenis yang menarik diantaranya adalah 7 jenis Enggang, Kuau Raja, Sepindan
Kalimantan dan jenis-jenis Raja Udang. TNKM juga merupakan habitat bagi banyak
jenis satwa dilindungi seperti banteng (Bos javanicus),
beruang
madu
(Helarctos malayanus), trenggiling (Manis javanica),
macan dahan (Neofelis nebulosa), landak (Hystrix
brachyura), dan rusa sambar (Cervus unicolor). Pada musim-musim
tertentu di padang rumput di hulu Sungai Bahau, berkumpul kawanan banteng yang
muncul dari kawasan hutan disekitarnya dan menjadi sebuah pemandangan yang
menarik untuk disaksikan.
Keanekaragaman
budaya
Desa di taman
nasional Kayan Mentarang masih berupa desa hutan. Di dalam dan di sekitar TNKM ditemukan
beraneka ragam budaya yang merupakan warisan budaya yang bernilai tinggi untuk
dilestarikan. Sekitar 21.000 orang dari bermacam etnik dan sub kelompok bahasa,
yang dikenal sebagai suku Dayak, bermukim di dalam dan disekitar taman nasional. Komunitas
Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan, Lundayeh, Tagel, Saben dan Punan, Badeng, Bakung, Makulit, Makasan mendiami sekitar 50
desa yang ada di dalam kawasan TNKM.
Ditemukannya kuburan
batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan, yang merupakan peninggalan suku
Ngorek, mengindikasikan bahwa paling tidak sejak kurang lebih 400 tahun yang
lalu masyarakat Dayak sudah menghuni kawasan ini. Peninggalan arkeologi yang
paling padat ini diperkirakan sebagai peninggalan yang paling penting untuk
pulau Borneo.
Masyarakat di dalam
kawasan taman nasional masih sangat bergantung pada pemanfaatan hutan sebagai
sumber penghidupan, seperti kayu, tumbuhan obat, dan binatang buruan. Mereka
juga menjual tumbuhan dan binatang hasil hutan, karena hanya ada sedikit
peluang untuk mendapatkan uang tunai. Pada dasarnya masyarakat mengelola sumber
daya alam secara tradisional dengan mendasarkan pada variasi jenis. Sebagai
contoh banyak varietas padi ditanam, beberapa jenis kayu digunakan untuk bahan
bangunan, banyak jenis tumbuhan digunakan untuk obat, dan berbagai jenis satwa
buruan.
Tingginya keragaman
jenis yang dimanfaatkan, akan memperkecil kemungkinan jenis-jenis tadi
mengalami tekanan. Pengelolaan tradisional tersebut pada dasarnya sangat
sejalan dengan konservasi hutan dan hidupan liar. Sayangnya, peraturan
tradisional atau adat sering tidak dipedulikan oleh pendatang yang terus
meningkat untuk mengambil sumber daya dari kawasan. Perubahan yang cepat dari
mata pencaharian tradisional ke ekonomi membuat orang tergoda untuk mengabaikan
adat.
Pengelolaan kolaboratif
Pengelolaan
hutan tradisional yang dikembangkan pada saat tombak dan sumpit digunakan,
terkesampingkan oleh senjata api, gergaji mesin dan jala. Dengan peralatan yang
semakin modern, orang semakin mudah untuk menangkap binatang dan mengumpulkan
tumbuhan lebih banyak. Belum lagi kegiatan pencurian kayu, pengambilan
produk-produk hutan komersial dan pembangunan jalan yang mulai mengancam sumber
daya alam yang ada di dalam taman nasional.
Dengan
munculnya berbagai ancaman tersebut, masyarakat yang ada di dalam dan disekitar
taman nasional dianggap sebagai aset yang paling tepat untuk menjaga dan
mengelola sumber daya alam yang ada di TNKM. Selain itu, adanya desentralisasi kewenangan
Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten, Kota dan Provinsi, juga merupakan aset penting untuk menjaga dan
mengelola sumber daya alam TNKM.
WWF
Indonesia, bekerjasama dengan para pihak terkait (stakeholders),
yaitu Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Pemerintah Daerah, Masyarakat Lokal (Adat) dan
Lembaga-lembaga Internasional, berupaya mendayagunakan asset-aset penting tadi
sebagai suatu peluang dan sekaligus kekuatan untuk menemukan model baru dalam
pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Dengan kearifan yang tinggi, para
pihak terkait sepakat untuk mencoba membangun suatu model Pengelolaan
Kolaboratif bagi TNKM.
Pada
4 April 2003,
Menteri Kehutanan RI menetapkan Pengelolaan Kolaboratif untuk
TNKM melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 1213, 1214,
1215/Kpts-II/2002. Ini merupakan tonnggak sejarah baru dalam pengelolaan Taman Nasional di Indonesia yang selama ini pengelolaan sepenuhnya
dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
Prinsip
pengelolaan kolaboratif TNKM meliputi enam aspek, yaitu: berbasiskan masyarakat
(community-based), mengikutsertakan
para pihak terkait (multistakeholders),
berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty),
berbagi peran (sharing of role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdsasarkan Rencana
Pengelolaan (Management Plan) Taman
Nasional yang syah.
Kelembagaan
Bentuk
kolaboratif diwujudkan kedalam sebuah wadah organisasi yang disebut sebagai
Dewan Penentu Kebijakan (DPK)
TNKM. Keanggotaan DPK TNKM terdiri dari: Bupati Malinau (Ketua merangkap
anggota), Bupati Nunukan (Wakil Ketua merangkap anggota), Ketua Forum
Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) TNKM (Wakil Ketua merangkap anggota), Ketua Bappeda
Kabupaten Malinau (Sekretaris I merangkap anggota), Ketua Bappeda Kabupaten
Nunukan (Sekretaris II merangkap anggota), Kepala BKSDA Kalimantan Timur
(Bendahara merangkap anggota), dan para anggota lainnya terdiri dari Perwakilan
FoMMA (4 orang), Ketua Bappeda Kalimantan Timur, Direktur Konservasi Kawasan
PHKA, serta Kepala Sub Direktorat Kawasan Pelestarian Alam PHKA.
Tugas
pokok DPK TNKM antara lain: membantu Pemerintah mengelola TNKM, bersama
Pemerintah menentukan kebijaksanaan pengelolaan TNKM sesuai aspirasi para
pihak, memberi saran dan pertimbangan dalam pembangunan TNKM, mengusulkan
pembentukan Badan Pengelola TNKM kepada Menteri Kehutanan, dan berkoordinasi
dengan Dirjen PHKA. Kegiatan pengelolaan TNKM dilaksanakan oleh Badan Pengelola
TNKM yang unsur-unsurnya terdiri dari Masyarakat lokal (Adat), BKSDA/PHKA, dan LSM.
Landasan
telah dibangun, namun membangun suatu model pengelolaan kolaboratif yang
benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan perjalanan panjang karena
berbagai kendala yang dihadapi, seperti misalnya gejolak politik, kepastian
hukum, kesiapan dan dukungan para pihak. Saat ini, WWF
Indonesia-Kayan Mentarang Project yang telah aktif di kawasan TNKM sejak
1980-an, sedang memfokuskan kegiatannya pada implementasi Rencana Pengelolaan
TNKM dan mempersiapkan para pihak untuk melaksanakan Pengelolaan Kolaboratif
TNKM.